“Apa,   di dalam kerajaanku sendiri  ada pengikut Musa?” Teriak Fir’aun dengan amarah yang membara setelah  mendengar cerita putrinya perihal  keimanan  Siti Masyitoh.


Hal ini  bermula ketika suatu hari Siti  Masyitoh sedang menyisir rambut  putri Fir’aun, tiba-tiba sisir itu  terjatuh, seketika Siti Masyitoh  mengucap Astagfirullah. Sehingga  terbongkarlah keimanan Siti Masyitoh  yang selama  ini disembunyikannya.

“Baru saja aku menerima laporan dari Hamman, mentriku, bahwa  pengikut   Musa
terus bertambah setiap hari. Kini pelayanku sendiri ada  yang   berani memeluk
agama yang dibawa Musa. Kurang ajar si Masyitoh  itu,”   umpat Fir’aun.


“Panggil Masyitoh  kemari,” perintah Fir’aun  pada pengawalnya.

Masyitoh  datang menghadap  Fir’aun dengan  tenang. Tidak ada secuil pun
perasaan  takut di hatinya.  Ia yakin Allah  senantiasa menyertainya.

“Masyitoh,  apakah benar kamu  telah memeluk  agama yang dibawa Musa?”. Tanya
Fir’aun pada Masyitoh  dengan amarah  yang semakin meledak.

“Benar,” jawab Masyitoh mantap.

“Kamu tahu akibatnya? Kamu sekeluarga akan  saya bunuh,” bentak Fir’aun,
telunjuknya mengarah pada Siti Masyitoh.

“Saya memutuskan untuk  memeluk agama Allah, maka saya telah siap pula
menanggung segala  akibatnya.”

“Masyitoh, apa kamu sudah gila! Kamu tidak sayang dengan  nyawamu,  suamimu, dan
anak-anakmu.”

“Lebih baik mati daripada hidup  dalam  kemusyrikan.”

Melihat  sikap Masyitoh yang tetap teguh   memegang keimanannya, Fir’aun
memerintahkan kepada para pengawalnya  agar  menghadapkan semua keluarga
Masyitoh kepadanya.

“Siapkan sebuah  belanga besar, isi dengan air, dan masak hingga  mendidih,”
perintah  Fir’aun lagi.

Ketika semua keluarga Siti Masyitoh telah  berkumpul,  Fir’aun memulai
pengadilannya.

“Masyitoh,  kamu lihat belanga besar di   depanmu itu. Kamu dan keluargamu akan
saya  rebus. Saya berikan   kesempatan sekali lagi, tinggalkan agama yang
dibawa Musa dan  kembalilah  untuk menyembahku. Kalaulah kamu tidak  sayang
dengan  nyawamu, paling  tidak fikirkanlah keselamatan bayimu itu.  Apakah kamu
tidak kasihan  padanya.”

Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Fir’aun, Siti  Masyitoh sempat
bimbang. Tidak ada yang dikhawatirkannya dengan dirinya,  suami, dan
anak-anaknya yang lain, selain anak bungsunya yang masih  bayi. Naluri
keibuannnya muncul. Ditatapnya bayi mungil dalam  gendongannya.   “Yakinlah
Masyitoh, Allah pasti menyertaimu.” Sisi  batinnya yang lain   mengucap.

Ketika  itu, terjadilah suatu keajaiban.   Bayi yang masih menyusu itu berbicara
kepada ibunya, “Ibu, janganlah   engkau bimbang. Yakinlah dengan janji  Allah.”
Melihat bayinya dapat   berkata-kata dengan fasih, menjadi  teguhlah iman Siti
Masyitoh. Ia  yakin  hal ini merupakan tanda bahwa  Allah tidak meninggalkannya.

Allah   pun membuktikan janji-Nya pada  hamba-hamba-Nya yang memegang teguh (istiqamah) keimanannya. Ketika  Siti Masyitoh dan keluarganya   dilemparkan satu persatu pada belanga  itu, Allah telah terlebih dahulu   mencabut nyawa mereka, sehingga tidak  merasakan panasnya air dalam   belanga itu.

Demikianlah  kisah seorang wanita shalihah  bernama Siti  Masyitoh, yang tetap
teguh  memegang keimanannya walaupun  dihadapkan pada  bahaya yang akan
merenggut nyawanya dan keluarganya.

Ketika  Nabi  Muhammad Saw. isra dari  Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di  Palestina, beliau mencium  aroma wangi yang berasal dari sebuah  kuburan.
“Kuburan siapa itu,  Jibril?” tanya baginda Nabi.
“Itu adalah kuburan  seorang wanita shalihah  yang bernama Siti Masyitoh,” jawab
Jibril.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SMS FREE

Pages

Powered By Blogger